Wednesday, October 17, 2012

Tulisan 5 ( Bahasa Indonesia 2 )


Nama   : Moh. Taufik Syam Amir
Npm     : 24210143
Kelas    : 3EB20


Akuntansi Syariah

Perbandingan antara Akutansi Konvensional dan Akutansi Shari’ah
Akutansi dalam bentuk sederhana dipahami sebagai bentuk laporan terhadap publik yang mempunyai keterkaitan dengan informasi yang disampaikan. Dalam perkembangannya, akutansi secara konvensional dipahami sebagai satu set prosedur rasional yang digunakan untuk menyediakan informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan dan pengendalian. Akutansi dalam pemahaman ini berfungsi sebagai benda mati yang paten seperti teknologi yang konkret, tangible, dan value-free.

Mereka berargumentasi bahwa akutansi harus memiliki standar paten yang berlaku secara umum di semua organisasi, tidak bisa dipengaruhi oleh kondisi lokal yang bisa menyebabkan keberagaman model akutansi dan harus bebas nilai (value-free). Karena akutansi yang tidak bebas nilai/sarat nilai (non-value-free) bisa menyulitkan dalam memahami informasi yang disampaikan. Oleh karena itu, pendukung akutansi model ini memilih untuk melakukan harmonisasi dalam praktek akutansi.

Inilah yang selanjutnya dijadikan dasar dan ruh oleh akutansi ala Amerika (modern) sehingga tidak mengherankan corak kapitalis muncul dalam praktik riilnya karena semuanya mengarah pada batasan memberikan informasi semata tanpa adanya spirit tanggung jawab (ataupun jika ada, ia hanya bersifat horisontal bukan horisontal dan vertikal).Akutansi sebagai aspek penting dalam dunia bisnis dianggap telah kehilangan jati dirinya. Ia menjadi tidak berdaya dan mau tidak mau tergilas dan terseret oleh kapitalis. Karena mesekipun pada awal kemunculannya, ia (akutansi) terbentuk oleh lingkungannya (socially constructed) namun ia punya potensi untuk dapat pula berbalik mempengaruhi limgkungannya (socially constructing). Ini jelas sangat berbahaya bagi masa depan akutansi sendiri dan peradaban manusia. Akhirnya dapat dijadikan sebuah kepastian bahwa akutansi bukanlah suatu bentuk ilmu pengetahuan dan praktek yang bersifat tidak bebas nilai (non-value-free), tetapi sebaliknya ia adalah disiplin dan praktek yang bebas dengan nilai (value-free).

Dalam laporan keuangan menurut APB Statement no. 4 yang berjudul Basic Concepts and Accounting Principles Underlying Financial Statements Business Enterprises, disebutkan tujuan umum laporan ini adalah:
1. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber-sumber ekonomi dan kewajiban perusahaan.
2. Memberikan informasi yang terpercaya tentang sumber kekayaan bersih yang berasal dari kegiatan   usaha dalam mencari laba.
3. Memberikan informasi keuangan yang dapat digunakan untuk menaksir potensi perusahaan dalam menghasilkan laba.
4. Memberikan informasi yang diperlukan lainnya tentang perubahan harta dan kewajiban.
5. Mengungkapkan informasi relevan lainnya yang dibutuhkan para pemakai laporan.

Dari kelima tujuan umum di atas, semuanya hanya berorientasi pada pemberian informasi kuantitatif yang berguna bagi pemakai-khususnya pemilik dan kreditur-dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan selanjutnya.Dalam Trueblood Committee Report juga dinyatakan bahwa tujuan utama dari laporan keuangan adalah memberikan informasi yang berguna untuk mengambil keputusan. Tujuan yang sama juga terdapat dalam Conceptual Framework dari FASB, PSAK dan lainnya.
Dari beberapa tujuan laporan keuangan tersebut, nampak jelas bahwa akutansi konvensional sangat dipengaruhi oleh konsep kapitalis, karena perhatian utamanya adalah hanya sebatas memberikan informasi yang bertumpu pada kepentingan stockholders dan entity-nya6 dan belum sampai pada taraf akuntabilitas, kalaulah ada, maka hanya sebatas hubungan yang bersifat horisontal (hablum min al-nas).

Akutansi shari’ah yang berbasiskan ruh ilahi adalah merupakan bagian dari Islamisasi sains dan pengetahuan yang berangkat dari kegagalan paradigma sains dan pengetahuan modern yang berbasiskan value-free sehingga banyak mendatangkan dampak negatif terhadap perkembangan peradaban manusia. Dampak ini muncul sebagai konskuensi logis dari dasar filsafat keilmuan yang bersifat metafisika, epistimologis dan aksiologis yang masih masif dan kering dengan nilai-nilai etik dan moral sehingga dalam tataran aksiologinya seringkali menafikan kemashlahatan manusia karena dipisahkannya agama dengan segala yang berkaitan dengan urusan dunia (sekuler).

Usaha untuk memberikan “warna lain” agar tercipta validitas data dan tujuan, akhirnya muncul dengan memberikan warna religius pada ilmu ekonomi, termasuk akutansi. Islamisasi akutansi inilah yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan akutansi shari’ah. Dengan akutansi shari’ah ini berarti akutansi tidak lagi value-free, tetapi berubah menjadi sarat dengan nilai-nilai ibadah (non-value-free).
Akuntansi shari’ah memandang bahwa kedua tujuan dasar dari akutansi yaitu memberikan informasi dan akuntabilitas dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya dan inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akutansi konvensional. Ia (akutansi shari’ah) melihat bahwa akutansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat “penghubung” antara stockholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari’ah sehingga informasi yang disampaikan bisa benar-benar sesuai dengan kondisi riil tanpa ada rekayasa dari pihak manapun sehingga ada “nilai ibadah” secara individu bagi stockholders dan para akuntan dan “ibadah sosial” bagi terciptanya peradaban manusia yang lebih baik. dan yang kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui”.

Mengapa bisa demikian? Karena akutansi shari’ah menandang bahwa organisasi ini sebagai interprise theory, di mana keberlangsungan hidup sebuah organisasi tidak hanya ditentukan oleh pemilik perusahaan (stockholders) saja tetapi juga pihak lain yang turut memberikan andil: pekerja, konsumen, pemasok, akuntan, dll.Bahkan Iwan Triyuwono memasukkan partisipan lain yang secara tidak langsung (indirect participant) untuk memberikan kontribusi sebagai distribusi nilai tambah dan juga memasukkan unsur alam ke dalamnya.

Dengan berlandaskan al-Qur’an, as-Sunnah dan ayat kauniyah, akutansi shari’ah memandang bahwa tujuan dasar dari akuntabilitas dalam prakteknya bukanlah sekedar akuntabilitas yang bersifat horisontal saja (hablum min al-nas) saja tapi juga sebagai akuntabilitas yang bersifat vertikal, bisa dipertanggung jawabkan kepada Tuhannya (hablum min al-Allah). Karena semua manusia termasuk di dalamnya para stockholders dan akuntan adalah merupakan wakil Allah (Khalifatullah fi al-ard) yang mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada “Raja”nya dan mereka sudah seharusnya memberikan pertanggungjawaban kepada “Sang Raja”.

Laporan keuangan yang berbasiskan shari’ah mempunyai “ruang dan peluang” tersendiri untuk bisa dipertanggungjawabkan baik secara horisontal dan vertikal. Karena ia diikat oleh aturan aturan baku akutansi (shari’ah) dan juga diikat oleh aturan-aturan agama sebagai basis dan ruh dari sifat akutansi shari’ah itu sendiri. Jelasnya, akutansi shari’ah mempunyai kelebihan “keterpercayaan” dan akuntabel dalam penyampaian informasi dan akuntabilitas keakuratannya sehingga keputusan maupun kebijakan yang akan diambil bisa benar-benar dipertimbangkan karena sesuai dengan kondisi riil sebenarnya dibandingkan akutansi konvensional.

SUMBER :

Penulis: M. Aqim Adlan Penulis adalah guru Madrasah Aliyah Tribakti (Lirboyo) Kediri.
http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/akuntansi_syariah.single

Tulisan 4 ( Bahasa indonesia 2 )


Nama   : Moh. Taufik Syam Amir
NPM    : 24210143
Kelas   : 3EB20


EKONOMI KAPITALIS

Lahirnya Ekonomi Kapitalisme
Motivasi teori modernisasi untuk merubah cara produksi masyarakat berkembang sesungguhnya adalah usaha merubah cara produksi pra-kapitalis ke kapitalis, sebagaimana negara-negara maju sudah menerapkannya untuk ditiru. Selanjutnya dalam teori dependensi yang bertolak dari analisa Marxis, dapat diakatakan hanyalah mengangkat kritik terhadap kapitalisme dari skala pabrik (majikan dan buruh) ke tingkat antar negara (pusat dan pinggiran), dengan analisis utama yang sama yaitu eksploitasi. Demikian halnya dengan teori sistem dunia yang didasari teori dependensi, menganalisis persoalan kapitalisme dengan satuan analisis dunia sebagai hanya satu sistem, yaitu sistem ekonomi kapitalis
Perkembangan kapitalisme pada negara terbelakang menjadi sebuah topik yang menarik untuk dikaji. Gejala kapitalisme dianggap sebagai sebuah solusi untuk melakukan pembangunan di negara terbelakang. Teori sistem dunia yang disampaikan oleh Wallerstein merupakan keberlanjutan pemikiran Frank dengan teori dependensinya. Pendapat Frank, Sweezy dan Wallerstein mengacu pada model yang dikenalkan oleh Adam Smith. Menurut Smith, pembangunan yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat memiliki kesamaan dengan pembangunan produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja merupakan sebuah fungsi yang berhubungan dengan tingkat pembagian kerja. Konsep inilah yang kemudian memunculkan pembedaan mode produksi menjadi sektor pertanian dan manufaktur. Konsep ini kemudian semakin berkembang dengan munculnya pembedaan desa dan kota sebagai sebuah mode produksi yang berbeda
Inti pemikiran Smith adalah bahwa proses produksi dan distribusi ini harus lepas dari campur tangan pemerintah dan perdagangan bebas. Proses ekonomi hanya akan berjalan melalui tangan-tangan tak kelihatan yang mengatur bagaimana produksi dan distribusi kekayaan ekonomi itu berjalan secara adil. Biarkan para pengusaha, tenaga kerja, pedagang bekerja mencari keuntungan sendiri. Siapapun tak boleh mencampurinya, karena ekonomi hanya bisa muncul dari perdagangan yang adil. Karenanya, pemerintah harus menjadi penonton tak berpihak. Ia tak boleh mendukung siapapun yang sedang menumpuk kekayaan pun yang tak lagi punya kekayaan. Tangan-tangan yang tak kelihatan akan menunjukkan bagaimana semua bekerja secara adil, secara fair.
Pandangan teori sistem dunia yang menganggap dunia sebagai sebuah kesatuan sistem ekonomi kapitalis mengharuskan negara pinggiran menjadi tergantung pada negara pusat. Tansfer surplus dari negara pinggiran menuju negara pusat melalui perdagangan dan ekspansi modal. Secara tidak langsung teori ini memang mendukung pernyataan Smith yang memusatkan perhatian pada tatanan kelas. Kenyataan yang terjadi dalam proses kapitalisme telah menimbulkan dampak berupa pertumbuhan ekonomi yang terjadi karena arus pertukaran barang dan jasa serta spesialisasi tenaga kerja. Kerangka pertukaran barang dan jasa serta spesialisasi tenaga kerja ini terwujud dalam bentuk peningkatan produktivitas yang lebih dikenal dengan konsep maksimalisasi keuntungan dan kompetisi pasar. Kapitalisme sebagai suatu sistem ekonomi yang memungkinkan beberapa individu menguasai sumberdaya vital dan menggunakannnya untuk keuntungan maksimal. Maksimimalisasi keuntungan menyebabkan eksploitasi tenaga kerja murah, karena tenaga kerja adalah faktor produksi yang paling mudah direkayasa dibandingkan modal dan tanah. Lebih jauh, dalam wacana filsafat sosial misalnya, kapitalisme dipandang secara luas tak terbatas hanya aspek ekonomi, namun juga meliputi sisi politik, etika, maupun kultural. Kapitalisme pada awalnya berkembang bukan melalui eksploitasi tenaga kerja murah, melainkan eksploitasi kepada kaum petani kecil. Negara terbelakang merupakan penghasil barang mentah terutama dalam sektor pertanian. Kapitalisme masuk melalui sistem perdagangan yang tidak adil dimana negara terbelakang menjual barang mentah dengan harga relatif murah sehingga menyebabkan eksploitasi petani. Masuknya sistem ekonomi perdagangan telah menyebabkan petani subsisten menjadi petani komersil yang ternyata merupakan bentuk eksploitasi tenaga kerja secara tidak langsung. Perkembangan selanjutnya telah melahirkan industri baru yang memerlukan spesialisasi tenaga kerja. Kapitalisme yang menitikberatkan pada spesialisasi tenaga kerja dan teknologi tinggi membutuhkan tenaga kerja yang terampil dan menguasai teknologi. Keadaan ini sangat sulit terwujud pada negara pinggiran. Proses ini hanya akan melahirkan tenaga kerja kasar pada negara pinggiran, sedangkan tenaga kerja terampil dikuasai oleh negara pusat. Ketidakberdayaan tenaga kerja pada negara pinggiran merupakan keuntungan bagi negara pusat untuk melakukan eksploitasi. Ekspansi kapitalisme melalui investasi modal dan teknologi tinggi pada negara pinggiran disebabkan oleh tersedianya tenaga kerja yang murah.
Kapitalisme yang menjalar hingga negara terbelakang menjadikan struktur sosial di negara terbelakang juga berubah. Kapitalisme memunculkan kelas sosial baru di negara terbelakang yaitu kelas pemilik modal. Berkembangnya ekonomi kapitalis ini didukung oleh sistem kekerabatan antara mereka. Kelas borjuis di negara terbelakang juga dapat dengan mudah memanfaatkan dukungan politik dari pemerintah. Sebagai sebuah kesatuan ekonomi dunia, asumsi Wallerstein akan adanya perlawanan dari negara terbelakang sebagai kelas tertindas oleh negara pusat menjadi hal yang tidak mungkin terjadi. Kapitalisme telah menciptakan kelompok sosial borjuis di negara terbelakang yang juga menggunakan kapitalisme untuk meningkatkan keuntungan ekonomi mereka, sehingga sangat tidak mungkin mereka melakukan perjuangan kelas. Gagasan Marx tentang tahapan revolusi ternyata runtuh. Marx menyatakan bahwa negara terbelakang akan memerlukan dua tahap revolusi, yaitu revolusi borjuis dan revolusi sosialis. Revolusi borjuis dilakukan oleh kelas borjuis nasional untuk melawan penindasan oleh negara maju dan kemudian baru berlanjut pada revolusi sosialis oleh kelas proletar.
Asumsi ini runtuh karena kelas borjuis nasional ternyata tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya sebagai pembebas kelas proletar dari eksploitasi kapitalisme, karena kelas borjuis nasional sendiri merupakan bentukan dan alat kapitalisme negara maju.
Dari uraian di atas terlihat bahwa kapitalisme yang pada awalnya hanyalah perubahan cara produksi dari produksi untuk dipakai ke produksi untuk dijual, telah merambah jauh jauh menjadi dibolehkannya pemilikan barang sebanyak-banyaknya, bersama-sama juga mengembangkan individualisme, komersialisme, liberalisasi, dan pasar bebas. Kapitalisme tidak hanya merubah cara-cara produksi atau sistem ekonomi saja, namun bahkan memasuki segala aspek kehidupan dan pranata dalam kehidupan masyarakat, dari hubungan antar negara, bahkan sampai ke tingkat antar individu. Sehingga itulah, kita mengenal tidak hanya perusahaan-perusahaan kapitalis, tapi juga struktur masyarakat dan bentuk negara. Upaya untuk memerangi kapitalisme bukan dengan sistem ekonomi sosialis namun dengan kemandirian ekonomi atau swasembada

sumber: http://ibonk.student.umm.ac.id/category/artikel-ekonomi/

Tulisan 3 ( Bahasa Indonesia 2 )

Nama   : Moh. Taufik Syam Amir
NPM    : 24210143
Kelas    : 3EB20

INVESTASI DI PASAR MODAL BERKEMBANG

Pada era globalisasi saat ini, dimana hambatan-hambatan perekonomian semakin pudar, peralihan arus dana dari pihak yang surplus kepada yang defisit akan semakin cepat dan tanpa hambatan. Pasar Modal sebagai pintu investasi terhadap aliran dana dari pihak yang kelebihan kekayaan (surplus) kepada pihak yang kekurangan dana (defisit) berperan sebagai lembaga perantara keuangan. Investor disini adalah pihak yang surplus dalam kaitannya dengan keuangan.
Siapakah pihak-pihak surplus ini? Dalam kaitannya dalam investasi dan sumber dana yang digunakannya, investor dapat dibagi. Pertama, adalah investor domestik yaitu adalah investor yang berasal dari dalam negeri yang menyusun portofolio asetnya di pasar modal dalam negeri. Kedua adalah investor asing, yaitu investor yang memiliki sejumlah dana dari luar negeri yang menyusun portofolio asetnya pada sejumlah negara yang berbeda.

Investasi asing yang datang ke negara-negara lain sebenarnya memiliki motif klasik yang meliputi, motif mencari bahan mentah atau sumber daya alam, mencari pasar baru dan meminimalkan biaya. Dari motif klasik tersebut kadangkala investor memiliki motif lain yaitu motif mengembangkan teknologi. Investor menyalurkan dananya ke negara lain biasanya tidak hanya membawa satu motif saja tetapi bisa karena beberapa motif sekaligus.

Paling tidak ada empat cara investor dapat masuk ke suatu negara: distressed asset investment, strategic investment, direct investment dan portfolio investment. Distressed asset investment adalah investasi yang dilakukan untuk mendapatkan kepemilikan atau membeli hutang suatu perusahaan dalam kesulitan keuangan. Kedua, strategic investment secara umum investor asing mengakuisisi perusahaan yang memiliki pangsa pasar cukup luas dan berada dalam segmen bisnis serta faktor lokasi yang mendukung strategi ekspansi perusahaan investor. Ketiga yakni investasi langsung (direct investment) biasanya berlangsung pada sektor yang belum begitu berkembang, misalnya pembangunan yang sarat teknologi atau pembangunan di sektor otomotif, biasanya perusahaan. Keempat adalah portofolio investment yaitu investasi dalam surat hutang dan saham di pasar modal.

Portofolio investment inilah yang selama ini menjadi perhatian banyak praktisi di bidang pasar modal. Mengapa demikian? Karena jenis investor ini merupakan yang paling cepat memindahkan eksposurnya di suatu negara jika terjadi gejolak (politik, ekonomi, kurs) yang diintrepretasikan sebagai ketidakpastian. Mereka juga adalah investor yang memiliki pilihan paling luas dibanding ke tiga jenis investor di atas. Sehingga jika ada kejadian tertentu baik secara makro, sekoral ataupun regulasi pemerintah, maka investor ini adalah yang lebih rentan dan sensitif terhadap refleksi atas informasi tersebut. Besarnya nilai investasi asing yang masuk atau keluar, praktis juga akan mempengaruhi pasar secara keseluruhan akibat adanya volume transaksi yang besar.

Peranan modal asing dalam pembangunan negara telah lama diperbincangkan oleh para ahli ekonomi pembangunan. Secara garis besar menurut Chereney dan Carter yaitu pertama, sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan oleh emerging country sebagai dasar untuk mempercepat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, pertumbuhan ekonomi yang meningkat perlu diikuti dengan perubahan struktur produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting dalam mobilisasi dana maupun transformasi struktural. Keempat, kebutuhan akan modal asing menjadi menurun segera setelah perubahan struktural benar-benar terjadi (meskipun modal asing di masa selanjutnya lebih produktif).


Sumber   :  http://kumpulan-artikel-ekonomi.blogspot.com/2010/06/blog-post.html

Tugas 2 ( kerangka Karangan )

Nama   : Moh. Taufik Syam Amir
NPM    : 24210143
Kelas    : 3EB20


Topik  : Tempe Bongkrek Makanan yang Berbahaya

I. Pengertian tempe bongkrek
I.I Asal tempe bongkrek
I.II Alasan konsumen menkonsumsi tempe bongkrek
I.III Apa perbedaan tempe bongkrek dengan tempe lainnya

II. Kandungan yang terdapat dalam tempe bongkrek
II.I Komponen dalam pembuatan tempe bongrek
II.II Bakteri apa saja yang ada dalam tempe bongkrek

III. Bahaya yang disebabkan oleh tempe bongkkrek
III.I Akibat bagi konsumen yang mengkonsumsi tempe bongkrek
III.I.I Gangguan pada pencernaan setelah mengkonsumsi
III.I.II Keracunan setelah mengkonsumsi

IV. Kesimpulan dan Saran
IV.I   Menginfokan kepada masyarakat tentang bahayanya mengkonsumsi   
         tempe bongkrek
IV.II Cara pemerintah menanggulangi